Selasa, 08 April 2014

SATRASIA



Teori Nativisme
Nativisme merupakan kata dasar dari bahasa Latin, “natus” yang artinya lahir atau “nativus” yang mempunyai arti kelahiran (pembawaan). Nativisme merupakan sebuah doktrin yang berpengaruh besar terhadap teori pemikiran psikologis. Teori nativisme ini dipelopori oleh  Arthur Schopenhauer (1788-1860), seorang filosof Jerman.
 ini  mengemukakan bahwa perkembangan manusia itu  telah ditentukan  oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (faktor pembawaan) baik karena berasal dari keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan demikian.
Pembawaan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Manakala pembawaannya itu baik, baik pula anak itu kelak. Begitu pula sebaliknya, andaikata anak itu berpembawaan buruk, buruk pula pada masa pendewasaannya.
Potensi-potensi yang dimiliki seseorang adalah potensi hereditas (bawaan) bukan potensi pendidikan. Pendidikan dan sama sekali tidak berpengaruh terhadap perkembangan  manusia. Teori ini juga termasuk dalam filsafat idealisme yang mengemukakan bahwa perkembangan seorang hanya ditentukan oleh keturunan yaitu faktor alam yang bersifat kodrati.
Menurut nativisme, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan tidak berkuasa dalam perkembangan seorang anak. Dalam ilmu pendidikan teori nativisme ini dikenal sebagai pandangan pesemisme paedagogis. Teori ini disebut pula dengan Biologisme, karena mementingkan kehidupan individu saja, tanpa memperhatikan pengaruh-pengaruh dari luar. Perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh:
a.      Faktor genetik (keturunan)
b.      Faktor Kemampuan (bakat)
c.      Faktor Pertumbuhan
2.      Teori Empirisme
Nama asli teori ini adalah “The school of British Empiricism” (teori empirisme Inggris). Pelopor teori ini adalah John Locke (1632-1704). teori ini mengemukakan bahwa manusia dilahirkan seperti kertas kosong (putih) yang belum ditulis (teori tabularasa). Jadi sejak dilahirkan anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa dan anak dibentuk sekehendak pendidiknya. Disini kekuatan apa pada pendidik, pendidikan dan lingkungannya yang berkuasa atas pembentukan anak.
Teori empirisme ini merupakan kebalikan dari teori nativisme karena menganggap bahwa potensi atau pembawaan yang dimiliki seseorang itu sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam upaya pendidikan. Semuanya ditentukan oleh faktor lingkungan yaitu pendidikan. Teori ini disebut juga dengan Sosiologisme, karena sepenuhnya mementingkan atau menekankan pengaruh dari luar. Dalam ilmu pendidikan teori ini dikenal sebagai pandangan optimisme paedagogis.
3.      Teori  Konvergensi
Teori ini pada intinya merupakan perpaduan antara pandangan nativisme dan empirisme, yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Tokoh utama teori konvergensi adalah Louis William Stern (1871-1938), seorang filosof sekaligus sebagai psikolog Jerman.
Teori ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor pengalaman (lingkungan). Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Perkembangan yang sehat akan berkembang jika kombinsai dari fasilitas yang diberikan oleh lingkungan dan potensialitas kodrati seseorang bisa mendorong berfungsinya segenap kemampuannya. Dan kondisi sosial menjadi sangat tidak sehat apabila segala pengaruh lingkungan merusak, bahkan melumpuhkan potensi psiko-fisiknya.
Dengan demikian, keadaan ini dapat dinyatakan bahwa faktor pembawaan maupun pengaruh lingkungan yang berdiri sendiri tidak dapat menentukan secara mutlak dan bukan satu-satunya faktor yang menentukan pribadi atau struktur kejiwaan seseorang.
B. Tujuan Teori Nativisme, Empirisme dan konvergensi dalam proses pembelajaran
Tujuan teori Nativisme, yaitu:
1.Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
2.Mendorong seseorang mewujudkan diri yang berkompetensi
3.Mendorong seseorang dalam menetukan pilihan
4.Mendorong seseorang untuk mengembangkan potensi dari dalam dirinya
5.Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Tujuan teori Empirisme, yaitu:
1.Sebagai faktor penentu bagi perkembangan seseorang yang bersumber dari berbagai sistem pendidikan.
2.Mendorong seseorang dalam penguasaan terhadap bidang pengetahuan,
3.Agar pendidikan seseorang menjadi relevan dan paling efektif yang  berorientasi pada pemberdayaan pendidikan dan pengalaman anak-didik itu sendiri.
Sedangkan tujuan teori belajar konvergensi adalah gabungan antara tujuan teori nativisme dan tujuan dari teori empirisme.
C.Aplikasi dalam kehidupan
     Berdasarkan teori nativisme, untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatiahan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.
      Sedangkan yang terjadi dari realisasi paradigma empirisme, salah satunya adalah munculnya reduksi terus-terusan atau bahkan penghilangan dimensi dan peranan internal dalam proses pendidikan. Berpijak dari pandangan bahwa faktor ekstern manusia, merupakan faktor penentu, maka upaya yang dilaksanakan akan terus-terusan berorientasi pada pemberdayaan aspek luar diri manusia itu sendiri. Reduksi dan bahkan penghilangan dimensi dan peranan internal manusia, justru akan mendorong dan mengarahkan manusia yang menjadi anak-didik ke arah “sekularisasi” kehidupan dari aspek-aspek rohani, terutama naluri keagamaan.
         Dari bermacam-macam istilah teori perkembangan seperti tersebut di atas, teori konvergensi  merupakan teori yang dapat diterima oleh para ahli pada umumnya. Sehingga teori ini merupakan salah satu hukum perkembangan individu di samping adanya hukum-hukum perkembangan yang lain.
         Jadi, baik faktor pembawaan (gen) dan lingkungan itu diperlukan bagi seseorang meski hanya sekedar ada di dunia. Faktor bawaan dan lingkungan bekerja sama untuk menghasilkan kecerdasan temperamen, tinggi badan, berat badan, kecakapan membaca, dan sebagainya. Tanpa gen, tidak akan ada perkembangan, tanpa lingkungan tidak ada pula perkembangan karena pengaruh lingkungan tergantung pada karakteristik genetik bawaan, jadi dapat kita katakan bahwa ke-2 faktor di atas saling berinteraksi.
                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar